Monday 23 July 2012

ORANG LUWU MEMBELA INDONESIA (REFLEKSI MASAMBA AFFAIR)


Michel Rolph Troillot, sang penulis buku: Silencing the Past: Power and the Production of History (1995), pernah menggambarkan tentang adanya permainan kekuasaan dalam penciptaan narasi alternatif dalam penulisan sejarah yang berawal pada penciptaan fakta maupun sumber. Hal ini diawali dengan pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) dan narasi-narasi besar (grand narratives).

Berpijak pada realitas empiris sejauh ini, menunjukkan bahwa historiografi nasional selalu dipandang oleh pemerintah sebagai sebuah kunci yang paling penting untuk membangun kesadaran sejarah. Asumsi ini pada gilirannya mendorong penguasa memilih (menentukan) kejadian tertentu untuk kemudian dikukuhkan menjadi peristiwa bersejarah dan penulisannya pun diberi label sejarah nasional.

Generalisasi secara konseptual, personal, spasial (ruang), dan temporal (waktu) atas peristiwa tertentu dan pelabelan secara subyektif (politisir) oleh penguasa, pun tak terhindarkan.Konsekuensinya, meski tidak ada kesepakatan secara konsensus dari rakyat tentang narasi mana yang dipilih sebagai narasi kolektif, pihak penguasa tetap mengklaim suatu peristiwa sebagai hari bersejarah yang perlu dikenang bersama.

Persoalan yang masih mengendap kemudian, yakni sampai seberapa besar kesadaran tersebut terpatri dalam dada dan pikiran masyarakat.Maksudnya, meski penguasa (negara) telah membangunan pengetahuan sejarah yang sedemikian besar, namun belum tentu dapat membentuk ingatan secara seragam.Dalam kaitan dengan itulah, pengkajian peristiwa lokal sebagai bagian integral dari sejarah nasional menjadi urgen dilakukan.


Salah satu dari sederet peristiwa bersejarah di Sulawesi Selatan yang penting untuk ditemukenali kembali hari ini dan tentu juga besok serta seterusnya, yakni perlawanan rakyat Luwu.Peristiwa perlawanan terhadap tentara NICA (Netherland Indies Civil Administration) 23 Januari 1946 ini, akrab disebut Masamba Affair (peristiwa Masamba).Bahkan untuk tetap mengenang peristiwa bersejarah ini secara simbolik, maka di Masamba ibukota Kabupaten Luwu Utara dapat disaksikan sebuah patung pemuda yang tampil heroik dengan dua buah senjata di tangannya.
Pertanyaan menarik sekitar itu, yakni apakah kita (khusus orang-orang Luwu) sebagai homo significant (sang pemberi makna) masih mampu menangkap sejumlah nilai di balik keberadaan patung tersebut?. Benarkah nilai heroisme masih bertahta dalam benak kita serta mampu tertular secara transmisif kepada generasi muda di antara semakin kaburnya pengetahuan tentang sejarah?. Dari pertanyaan-pertanyaan itulah kesadaran historis akan lahir dan keinginan untuk menggali peristiwa-peristiwa lokal menjadi sebuah tanggung jawab.

Akar Peristiwa Terjadinya peristiwa heroik ini, terkait dengan kondisi sosio-politik kala itu yakni.menjelang datangnya pasukan Sekutu. Catatan sejarah menunjukkan bahwa seluruh daerah Luwu termasuk Tana Toraja dan Kolaka telah dinyatakan sebagai wilayah RI, demikian halnya dengan pemerintahan kerajaan Luwu.Pemerintahan kerajaan Luwu menjadi daerah de facto RI yang sesungguhnya.Semua ini dapat tercapai berkat kerjasama yang erat antara pemuda dan pemerintah kerajaan.
Sampai saat ini, pemuda Luwu telah dua kali melakukan perubahan organisasi perjuangan yaitu pada 17 September 1945 Sukarno Muda dirubah menjadi Pemuda Nasional Indonesia (PNI).Kemudian 15 Oktober 1945 kembali lagi dilakukan perubahan, dan muncullah suatu organisasi yang cakupannya meliputi seluruh wilayah Kerajaan Luwu yaitu Pemuda Republik Indonesia (PRI).

Meskipun Luwu telah dinyatakan berada di belakang RI, namun suasana dalam masyarakat masih diliputi ketegangan. Kelompok masyarakat yang pro kepada Belanda (termasuk di dalamnya beberapa bangsawan Luwu), pun telah memperlihatkan gerak geriknya. Hal ini menjadi bumerang bagi kelompok masyarakat pendukung suasana mobilisasi umum, dimana yang ada hanya kawan dan lawan, dan sering kali terjadi pembunuhan akibat tindakan kedua kelompok tersebut.

Keadaan seperti itu makin bertambah gawat, akibat dibiarkannnya pasukan Belanda berkeliaran dalam masyarakat melakukan tindakan-tindakan yang oleh rakyat Luwu dianggap menghina harga diri (siri) mereka. Dengan demikian, atas nama pemerintah kerajaan, pemuda Luwu, dan pemuka agama mengeluarkan ultimatum kepada pasukan Sekutu. Karena sampai pada batas waktu yang ditentukan ultimatum itu tidak diindahkan, maka terjadilah peristiwa 23 Januari 1946 yang didukung oleh seluruh lapisan masyarakat.

Spirit Perjuangan
Tindakan-tindakan Belanda bersama para kaki tangannya di daerah kerajaan yang merdeka/berdaulat merupakan suatu penghinaan bagi Datu selaku pemimpin dan rakyat Luwu pada umumnya.Karena itu, pemuda selaku pelopor kemerdekaan dengan dibebani siri dalam dirinya terdorong untuk mempersiapkan serangan atau tindakan balasan kepada Belanda. Demikian halnya Datu Luwu, Andi Jemma yang dari awal telah dikecewakan oleh Belanda saat pemilihan Datu Luwu pada tahun 1935, merasa telah mengalami apa yang disebut sebagai masiri dan kebencian yang terpendam.

Menurut Rasyid Ridha (2009) ada beberapa faktor penyebab sekaligus spirit perjuangan orang Luwu yang intinya terkait dengan prinsip bahwa Narekko Naposiri’I Datue, Napomatei Pabbanue (Bugis: “rakyat siap mempertaruhkan nyawanya demi membela dan menegakkan siri’ atau harga diri Datu/Pemerintah”), merupakan kata kunci yang bisa menerangkan hakekat dari peristiwa 23 Januari 1946.

Kenyataan seperti ini tampak pada kasus penghinaan tentara NICA terhadap Opu Gawe (tante Datu) di Bua dan dengan menginjak-nginjak Al-Quran serta tidak diindahkannya ultimatum yang ditandatangani Andi Jemma selaku kepala pemerintah RI kerajaan Luwu, K.H.M. Ramli, Khadi atas nama Umat Islam Luwu dan M. Yusuf Arief selaku kelompok pemuda. Faktor lainnya menurut Rasyid Ridha (2009) terkait dengan persoalan kharisma pemimpin, ideologi, dan ketegangan, sebagaimana diuraikan berikut ini.
Pertama, kepemimpinan Andi Jemma yang kharimatis dan merupakan simbol revolusi bagi rakyat Luwu menjadi lebih efektif, karena mendapat pengukuhan dari khadi sebagai tokoh rohani Umat Islam.Selain itu, juga mendapat dukungan penuh dari tenaga-tenaga organisator yang ulet dan tangguh dari kaum pergerakan, baik dari kaum pergerakan intelektual maupun dari pergerakan agama (PSII dan Muhammadiah) serta dukungan kaum bangsawan dan seluruh lapisan masyarakat.
Kedua, faktor idiologi (the spread of generalized belief) sangat berpengaruh dalam suatu pemberontakan, di samping faktor ketegangan yang timbul dalam masyarakat (structural strain).Dengan demikian, teori Smelser tepat sekali dalam menjelaskan peristiwa ini.Di samping itu, siri sebagai nilai budaya Bugis Makassar perlu didekati sebagai alat pendekatan dalam mengungkap pemberontakan.Dapat pula dikatakan bahwa, peristiwa tersebut merupakan sebuah momentum sejarah sekaligus tanda zaman.Ia menjadi peristiwa yang membuktikan secara struktural, heterogenitas masyarakat dapat dipersatukan yang jelas serta murni Indonesia merdeka.
Ketiga, secara fungsional, gerakan ini bersifat sadar, memiliki komitmen yang kuat pada tujuan yang jelas.Ia bukanlah gerakan sporadis dari situasi vacum of power dan bukan pula gerakan spontan, melainkan telah melalui proses panjang dan matang. Jadi bukan gerakan trial and error, dengan semangat sesaat.Artinya perjuangan ini ditandai idiologi, tujuan dan memiliki pemimpin yang jelas.
Keempat, peristiwa 23 Januari 1946 memperlihatkan secara struktur, yaitu organisasi Sukarno Muda sebagai wadah pemrakarsa, menunjukan pandangan nasionalisme dan tidak ada saling menyesalkan. Kepemimpinannya terdiri dari tiga golongan yang terintegrasi sebagaimana hakekat zaman.yaitu aristokrat, agama (Muhammadiyah, PSII) dan unsur pemuda pergerakan. Jalinan harmoni ketiga golongan ini diwujudkan juga dalam penandatanganan ultimatum oleh Datu, Kadhi dan wakil Pemuda.

Hal tersebut memperlihatkan suatu kematangan, karena struktur itu menegaskan adanya pertimbangan internal dynamic.Datu mewakili kharisma kerajaan, Khadi adalah representasi hukum dan ajaran agama Islam, dan pemuda sebagai dinamisator.Disamping itu, kerjasama antara golongan aristokrat (raja dan bangsawan) dengan golongan reformasi (PSII Muhammadiyah) ini khas berbeda dengan dinamika revolusi tingkat lokal lainnya.Bukan gerakan golongan, melainkan perjuangan seluruh rakyat Luwu, dari petani, nelayan, guru, sampai raja sendiri.

Singkatnya, bahwa gerakan perlawanan 23 Januari 1946 yang dimotori oleh pemuda bersama rakyat Luwu dengan mendapat dukungan dari Datu selaku pemimpin kerajaan yang kharismatik ini, dilatarbelakangi oleh upaya penegakkan hak sebagai pengejawantahan dari nilai budaya Siri dan dilandasi oleh Maseddi Siri dari rakyat Luwu.

Akhirul kalam, semoga ideologi sebagai spirit perjuangan rakyat Luwu tersebut masih mampu menjadi pengawal cita-cita hidup berbangsa dan bernegara di era modern bahkan di tengah krisis ideologi yang mendera generasi muda.

No comments:

Post a Comment