Michel Rolph Troillot, sang penulis buku: Silencing the
Past: Power and the Production of History (1995), pernah menggambarkan tentang
adanya permainan kekuasaan dalam penciptaan narasi alternatif dalam penulisan
sejarah yang berawal pada penciptaan fakta maupun sumber. Hal ini diawali
dengan pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) dan narasi-narasi
besar (grand narratives).
Berpijak
pada realitas empiris sejauh ini, menunjukkan bahwa historiografi nasional
selalu dipandang oleh pemerintah sebagai sebuah kunci yang paling penting untuk
membangun kesadaran sejarah. Asumsi ini pada gilirannya mendorong penguasa
memilih (menentukan) kejadian tertentu untuk kemudian dikukuhkan menjadi
peristiwa bersejarah dan penulisannya pun diberi label sejarah nasional.
Generalisasi
secara konseptual, personal, spasial (ruang), dan temporal (waktu) atas
peristiwa tertentu dan pelabelan secara subyektif (politisir) oleh penguasa,
pun tak terhindarkan.Konsekuensinya, meski tidak ada kesepakatan secara
konsensus dari rakyat tentang narasi mana yang dipilih sebagai narasi kolektif,
pihak penguasa tetap mengklaim suatu peristiwa sebagai hari bersejarah yang
perlu dikenang bersama.
Persoalan
yang masih mengendap kemudian, yakni sampai seberapa besar kesadaran tersebut
terpatri dalam dada dan pikiran masyarakat.Maksudnya, meski penguasa (negara)
telah membangunan pengetahuan sejarah yang sedemikian besar, namun belum tentu
dapat membentuk ingatan secara seragam.Dalam kaitan dengan itulah, pengkajian
peristiwa lokal sebagai bagian integral dari sejarah nasional menjadi urgen
dilakukan.
Salah
satu dari sederet peristiwa bersejarah di Sulawesi Selatan yang penting untuk
ditemukenali kembali hari ini dan tentu juga besok serta seterusnya, yakni
perlawanan rakyat Luwu.Peristiwa perlawanan terhadap tentara NICA (Netherland
Indies Civil Administration) 23 Januari 1946 ini, akrab disebut Masamba Affair
(peristiwa Masamba).Bahkan untuk tetap mengenang peristiwa bersejarah ini
secara simbolik, maka di Masamba ibukota Kabupaten Luwu Utara dapat disaksikan
sebuah patung pemuda yang tampil heroik dengan dua buah senjata di tangannya.
Pertanyaan menarik sekitar itu, yakni apakah kita (khusus orang-orang Luwu) sebagai homo significant (sang pemberi makna) masih mampu menangkap sejumlah nilai di balik keberadaan patung tersebut?. Benarkah nilai heroisme masih bertahta dalam benak kita serta mampu tertular secara transmisif kepada generasi muda di antara semakin kaburnya pengetahuan tentang sejarah?. Dari pertanyaan-pertanyaan itulah kesadaran historis akan lahir dan keinginan untuk menggali peristiwa-peristiwa lokal menjadi sebuah tanggung jawab.
Pertanyaan menarik sekitar itu, yakni apakah kita (khusus orang-orang Luwu) sebagai homo significant (sang pemberi makna) masih mampu menangkap sejumlah nilai di balik keberadaan patung tersebut?. Benarkah nilai heroisme masih bertahta dalam benak kita serta mampu tertular secara transmisif kepada generasi muda di antara semakin kaburnya pengetahuan tentang sejarah?. Dari pertanyaan-pertanyaan itulah kesadaran historis akan lahir dan keinginan untuk menggali peristiwa-peristiwa lokal menjadi sebuah tanggung jawab.
Akar
Peristiwa Terjadinya peristiwa heroik ini, terkait dengan kondisi sosio-politik
kala itu yakni.menjelang datangnya pasukan Sekutu. Catatan sejarah menunjukkan
bahwa seluruh daerah Luwu termasuk Tana Toraja dan Kolaka telah dinyatakan
sebagai wilayah RI, demikian halnya dengan pemerintahan kerajaan
Luwu.Pemerintahan kerajaan Luwu menjadi daerah de facto RI yang
sesungguhnya.Semua ini dapat tercapai berkat kerjasama yang erat antara pemuda
dan pemerintah kerajaan.
Sampai
saat ini, pemuda Luwu telah dua kali melakukan perubahan organisasi perjuangan
yaitu pada 17 September 1945 Sukarno Muda dirubah menjadi Pemuda Nasional
Indonesia (PNI).Kemudian 15 Oktober 1945 kembali lagi dilakukan perubahan, dan
muncullah suatu organisasi yang cakupannya meliputi seluruh wilayah Kerajaan
Luwu yaitu Pemuda Republik Indonesia (PRI).
Meskipun
Luwu telah dinyatakan berada di belakang RI, namun suasana dalam masyarakat
masih diliputi ketegangan. Kelompok masyarakat yang pro kepada Belanda
(termasuk di dalamnya beberapa bangsawan Luwu), pun telah memperlihatkan gerak
geriknya. Hal ini menjadi bumerang bagi kelompok masyarakat pendukung suasana
mobilisasi umum, dimana yang ada hanya kawan dan lawan, dan sering kali terjadi
pembunuhan akibat tindakan kedua kelompok tersebut.
Keadaan
seperti itu makin bertambah gawat, akibat dibiarkannnya pasukan Belanda
berkeliaran dalam masyarakat melakukan tindakan-tindakan yang oleh rakyat Luwu
dianggap menghina harga diri (siri) mereka. Dengan demikian, atas nama
pemerintah kerajaan, pemuda Luwu, dan pemuka agama mengeluarkan ultimatum
kepada pasukan Sekutu. Karena sampai pada batas waktu yang ditentukan ultimatum
itu tidak diindahkan, maka terjadilah peristiwa 23 Januari 1946 yang didukung oleh
seluruh lapisan masyarakat.
Spirit
Perjuangan
Tindakan-tindakan
Belanda bersama para kaki tangannya di daerah kerajaan yang merdeka/berdaulat
merupakan suatu penghinaan bagi Datu selaku pemimpin dan rakyat Luwu pada
umumnya.Karena itu, pemuda selaku pelopor kemerdekaan dengan dibebani siri
dalam dirinya terdorong untuk mempersiapkan serangan atau tindakan balasan
kepada Belanda. Demikian halnya Datu Luwu, Andi Jemma yang dari awal telah
dikecewakan oleh Belanda saat pemilihan Datu Luwu pada tahun 1935, merasa telah
mengalami apa yang disebut sebagai masiri dan kebencian yang terpendam.
Menurut
Rasyid Ridha (2009) ada beberapa faktor penyebab sekaligus spirit perjuangan
orang Luwu yang intinya terkait dengan prinsip bahwa Narekko Naposiri’I Datue,
Napomatei Pabbanue (Bugis: “rakyat siap mempertaruhkan nyawanya demi membela
dan menegakkan siri’ atau harga diri Datu/Pemerintah”), merupakan kata kunci
yang bisa menerangkan hakekat dari peristiwa 23 Januari 1946.
Kenyataan
seperti ini tampak pada kasus penghinaan tentara NICA terhadap Opu Gawe (tante
Datu) di Bua dan dengan menginjak-nginjak Al-Quran serta tidak diindahkannya
ultimatum yang ditandatangani Andi Jemma selaku kepala pemerintah RI kerajaan
Luwu, K.H.M. Ramli, Khadi atas nama Umat Islam Luwu dan M. Yusuf Arief selaku
kelompok pemuda. Faktor lainnya menurut Rasyid Ridha (2009) terkait dengan
persoalan kharisma pemimpin, ideologi, dan ketegangan, sebagaimana diuraikan
berikut ini.
Pertama,
kepemimpinan Andi Jemma yang kharimatis dan merupakan simbol revolusi bagi
rakyat Luwu menjadi lebih efektif, karena mendapat pengukuhan dari khadi
sebagai tokoh rohani Umat Islam.Selain itu, juga mendapat dukungan penuh dari
tenaga-tenaga organisator yang ulet dan tangguh dari kaum pergerakan, baik dari
kaum pergerakan intelektual maupun dari pergerakan agama (PSII dan Muhammadiah)
serta dukungan kaum bangsawan dan seluruh lapisan masyarakat.
Kedua,
faktor idiologi (the spread of generalized belief) sangat berpengaruh dalam
suatu pemberontakan, di samping faktor ketegangan yang timbul dalam masyarakat
(structural strain).Dengan demikian, teori Smelser tepat sekali dalam
menjelaskan peristiwa ini.Di samping itu, siri sebagai nilai budaya Bugis
Makassar perlu didekati sebagai alat pendekatan dalam mengungkap
pemberontakan.Dapat pula dikatakan bahwa, peristiwa tersebut merupakan sebuah
momentum sejarah sekaligus tanda zaman.Ia menjadi peristiwa yang membuktikan
secara struktural, heterogenitas masyarakat dapat dipersatukan yang jelas serta
murni Indonesia merdeka.
Ketiga, secara fungsional, gerakan ini bersifat sadar, memiliki komitmen yang kuat pada tujuan yang jelas.Ia bukanlah gerakan sporadis dari situasi vacum of power dan bukan pula gerakan spontan, melainkan telah melalui proses panjang dan matang. Jadi bukan gerakan trial and error, dengan semangat sesaat.Artinya perjuangan ini ditandai idiologi, tujuan dan memiliki pemimpin yang jelas.
Ketiga, secara fungsional, gerakan ini bersifat sadar, memiliki komitmen yang kuat pada tujuan yang jelas.Ia bukanlah gerakan sporadis dari situasi vacum of power dan bukan pula gerakan spontan, melainkan telah melalui proses panjang dan matang. Jadi bukan gerakan trial and error, dengan semangat sesaat.Artinya perjuangan ini ditandai idiologi, tujuan dan memiliki pemimpin yang jelas.
Keempat,
peristiwa 23 Januari 1946 memperlihatkan secara struktur, yaitu organisasi
Sukarno Muda sebagai wadah pemrakarsa, menunjukan pandangan nasionalisme dan
tidak ada saling menyesalkan. Kepemimpinannya terdiri dari tiga golongan yang
terintegrasi sebagaimana hakekat zaman.yaitu aristokrat, agama (Muhammadiyah,
PSII) dan unsur pemuda pergerakan. Jalinan harmoni ketiga golongan ini
diwujudkan juga dalam penandatanganan ultimatum oleh Datu, Kadhi dan wakil
Pemuda.
Hal
tersebut memperlihatkan suatu kematangan, karena struktur itu menegaskan adanya
pertimbangan internal dynamic.Datu mewakili kharisma kerajaan, Khadi adalah
representasi hukum dan ajaran agama Islam, dan pemuda sebagai
dinamisator.Disamping itu, kerjasama antara golongan aristokrat (raja dan
bangsawan) dengan golongan reformasi (PSII Muhammadiyah) ini khas berbeda dengan
dinamika revolusi tingkat lokal lainnya.Bukan gerakan golongan, melainkan
perjuangan seluruh rakyat Luwu, dari petani, nelayan, guru, sampai raja
sendiri.
Singkatnya,
bahwa gerakan perlawanan 23 Januari 1946 yang dimotori oleh pemuda bersama
rakyat Luwu dengan mendapat dukungan dari Datu selaku pemimpin kerajaan yang
kharismatik ini, dilatarbelakangi oleh upaya penegakkan hak sebagai
pengejawantahan dari nilai budaya Siri dan dilandasi oleh Maseddi Siri dari
rakyat Luwu.
Akhirul
kalam, semoga ideologi sebagai spirit perjuangan rakyat Luwu tersebut masih
mampu menjadi pengawal cita-cita hidup berbangsa dan bernegara di era modern
bahkan di tengah krisis ideologi yang mendera generasi muda.
No comments:
Post a Comment