Monday 12 December 2011

sajak bocah patah hati...

Pikiran adalah malam lengang. Penuh sesak oleh sajak kerinduan yang panjang seperti barisan pemuda yang mengantri untuk mati di medan perang. Tapi cinta tak pernah mengantri, bahkan untuk mati. Kerinduan lupa cara menari. Beruntung masih mengingat cara menulis. Mengentas galau dari otak kacau ke hati yang kertas.

Sampailah kita pada pencapaian yang hina. Kau mulai pintar memainkan kata-kata saat aku sibuk menyembunyikan gerimis di saku celana.

Silahkan mainkan bibir sesukamu, ungkapkan apa yang selama ini kauselipkan di balik kutangmu. Akan tetap kudengar, tapi jangan harap akan kudengarkan.

Pena terlalu usang dan terlampau runcing. Kata-kata menjadi merah. Lebih merah dari tempat sampah di pojok kamar. Berbatang yang ia sulut tak kunjung menghapus sepi atau menyembuhkan luka. Tapi selalu ada asap untuk menukar air mata. Kecewa kepada cinta. Marah kepada apa saja. Gelisah pada kata-kata.

Sampailah kita pada pemberhentian yang luka. Kau mulai pintar menimang kejujuran saat aku mulai mengenal kebohongan.

Ah, sudahlah. Aku lelah berbohong. Tapi kita memang manusia, yang tak pernah siap menerima kebenaran.

Sebatang yang tersisa. Sekali lagi, mencoba menghapus sepi. Membaca berbaris sajak lagi. Sajak rindu yang cengeng. Tiba-tiba, ada rasa ingin bunuh diri. Mengambil remote control televisi lalu menggenggamnya seperti sebuah pistol. Ujung pistol yang sebenarnya ujung remote control itu diarahkan ke pelipis, memberi pintu untuk peluru masuk ke kepala yang tolol. Konyol. Seorang bocah berimajinasi bunuh diri. Seorang bocah membunuh imajinasinya sendiri. Tentang sajak paling cengeng dan cinta yang telah mati.. .

No comments:

Post a Comment