Michel Rolph Troillot, sang penulis buku: Silencing the
Past: Power and the Production of History (1995), pernah menggambarkan tentang
adanya permainan kekuasaan dalam penciptaan narasi alternatif dalam penulisan
sejarah yang berawal pada penciptaan fakta maupun sumber. Hal ini diawali
dengan pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) dan narasi-narasi
besar (grand narratives).
Berpijak
pada realitas empiris sejauh ini, menunjukkan bahwa historiografi nasional
selalu dipandang oleh pemerintah sebagai sebuah kunci yang paling penting untuk
membangun kesadaran sejarah. Asumsi ini pada gilirannya mendorong penguasa
memilih (menentukan) kejadian tertentu untuk kemudian dikukuhkan menjadi
peristiwa bersejarah dan penulisannya pun diberi label sejarah nasional.
Generalisasi
secara konseptual, personal, spasial (ruang), dan temporal (waktu) atas
peristiwa tertentu dan pelabelan secara subyektif (politisir) oleh penguasa,
pun tak terhindarkan.Konsekuensinya, meski tidak ada kesepakatan secara
konsensus dari rakyat tentang narasi mana yang dipilih sebagai narasi kolektif,
pihak penguasa tetap mengklaim suatu peristiwa sebagai hari bersejarah yang
perlu dikenang bersama.
Persoalan
yang masih mengendap kemudian, yakni sampai seberapa besar kesadaran tersebut
terpatri dalam dada dan pikiran masyarakat.Maksudnya, meski penguasa (negara)
telah membangunan pengetahuan sejarah yang sedemikian besar, namun belum tentu
dapat membentuk ingatan secara seragam.Dalam kaitan dengan itulah, pengkajian
peristiwa lokal sebagai bagian integral dari sejarah nasional menjadi urgen
dilakukan.